First Love, First Trouble (CERPEN)
Title: First
Love, First Trouble
Genre:
Comedy, Romantic, Sad
Author:
- K-Rara-Always
- K-Karin-Fana
- K-Niia-Nous
- K-Dini-Fana
- K-Novita-Nizer
- K-Fadhilah-Nous
- K-I.Yanti-Niac
- K-Ina-Nizer
- K-Intan-Nizer
- K-Fhitta-Niac
- K-Intansr-Niac
- (ANAK-ANAK SEKOLAH SMASHBLAST SEMANGKA) :D *dengan perubahan sedemikian rupa*
Main
Cast:
- Rara
- Reza
- Dicky
- Jessi
- Ilham
Date:
Wednesday, 6 June 2012
Selamat
Membaca :)
Awan
berarak-arakan di langit. Seperti mengikuti langkah kakiku yang berjalan
mengitari halaman sekolah. Berjalan sendiri tanpa teman. Tapi, hati tentram.
Tidak seperti dulu SD. Selalu saja diganggu oleh orang rese yang bego'nya aku
suka sama tuh cowok.
Baru ingat,
ternyata lama juga sudah tidak pernah bertemu. Semenjak dia pindah ke LA
bersama kedua orang tuanya. Kira-kira sudah berapa tahun ya? Ahh sudah 5 tahun
lebih 7 bulan setengah! Aku selalu menghitungnya setiap bulan. Dalam hati aku
masih selalu berharap bisa bertemu dia, walaupun cuma lima menit itupun sudah
sangat kusyukuri. Aku ingin melihat wajah dewasanya. Meskipun Ilham sudah
berkali-kali mengirimi aku fotonya.
Tapi sering
juga ku kesal jika mengingat keisengannya. Seperti mengirimi aku kotak hadiah
yang ternyata isinya seekor cicak hidup beserta telur-telurnya. Pernah juga dia
menuduhku mencuri celana dalamnya, menyebarkan berita bohong itu di seluruh
anak-anak. Rasanya malu sekali! Tapi jika dikenang kembali, itu menjadi
saat-saat yang paling indah.
M. Reza
Anugrah
Aku duduk di
bangku taman yang berada di halaman sekolah. Menundukkan kepalaku. Menutupi
mataku dengan kedua tanganku. Menutupi rasa sedihku. Aku sangat rindu padanya.
Sangat amat RINDU!
Aku membuka
kedua tanganku. Melihat sebuah bayangan yang menutupiku dari sinar matahari. Ku
lihat orang yang berdiri di depanku. Sungguh tak dapat dipercaya! Reza berdiri
di depanku dengan senyum manisnya. Oh tidak! Senyum manis ini bisa berubah
menjadi senyuman licik secara cepat dalam hitungan 0,1 detik! Tapi karena ku
tahu jika itu hanya halusinasiku saja, aku mengkucek mataku supaya halusinasi
itu tidak terlampau jauh. Namun itu bukan halusinasiku! Itu kenyataan!
Air mata
sudah menggenang di pelupuk mataku. Tak jadi menetes ketika kulihat senyuman
Reza sungguh berubah menjadi senyuman licik! Uuhh bahkan tak dapat kupungkiri
lagi, aku kangen dengan senyuman liciknya!
"Hai,
apa kabar Rara?"
Suara ini.
Aku sangat rindu dengan suaranya ini. Apalagi dengan logat bicaranya yang khas.
Semua yang ada padanya aku sangat rindukan bahkan aku sampai lupa bernafas
selama beberapa detik.
"Kenapa
lo balik?" tanyaku ketus. Meskipun dalam hati benakku melambung melihatnya
berdiri di depanku dengan kokohnya dan uuhh gantengnya, aku harus berakting
membenci dia. Meski dalam lubuk hati terdalam aku tak pernah tega melakukan
itu.
"Tugas
gue di LA udah habis, Ra. Gue mau disini aja bareng sama Ilham. Kasihan kalau
ditinggal lama-lama sendirian sama nenek." jawabnya.
Aku hanya
diam. Aku puaskan mataku untuk melihatnya dari kaki sampai ujung kepalanya.
Ingin rasanya ku peluk erat-erat dan tak akan kubiarkan dia pergi dari
Indonesia.
"Kok
diem aja? Lo nggak seneng gue kesini? Lo kagak suka gue balik kesini
lagi?" sindirnya dengan senyum liciknya lagi.
"Nggak
nyangka aja. Gue kira lo nggak akan balik kesini lagi, tapi ternyata lo balik
kesini lagi." Jawabku jujur. Tidak dengan suara ketus yang dibuat-buat.
Tapi dengan wajah polos yang memohon perdamaian.
"Ohh...
gitu. Eh sebenarnya ada alasan lain sih gue balik kesini,"
"Emang
apa?" tanyaku sungguh ingin tahu.
"Gue
balik karena gue mau nyelesaiin urusan gue sama lo. Gue kepikiran sama lo
terus," gombalnya.
Uuhh sebenarnya
aku sudah melayang jauh ke langit ke delapan deh. Meskipun langit tuh ada tujuh
lapisan, aku milih yang ke delapan biar lebih jauh dan nggak turun-turun lagi.
"Lo
nggak kangen ya sama gue? Padahal setiap hari, jam, menit, detik, gue pengen
melarikan diri dari LA ke Indonesia cuma buat ketemu lo!" aku-nya.
Wajahku
memerah. Mirip udang rebus sangking senengnya. Nggak tahu itu bener atau cuma
gurauannya.
"Nggak,
ngapain juga gue kangen sama lo?! Masa' gue kangen sama orang yang hobinya
ngerjain gue? Nggak lucu banget tau! Sama aja kayak domba incaran serigala
nyerah dan minta dimakan serigala!" kataku kembali ketus.
"Yang
bener nih? Jangan bohong deh. Masa' lo lupa sih waktu itu di teduhan pohon,
bilang suka sama gue. Bilang kalo gue cowok idaman,"
"I...itukan
dulu," Elakku.
"Sekarang
masih kan?" sindirnya. Pas banget!
"Kok lo
abis pulang dari LA tambah gede ya GR-nya?!"
"GR?
Gue nggak GR kok. Kenyataannya gitu kan? Lo aja selalu nanya kabar gue ke
Ilham. Bahkan lo minta foto gue ke Ilham kan? Ngaku deh lo,"
Wah aku
terpojok! Tak bisa bertindak lagi. Aku bangkit berdiri. "Iya, gue kangen
berat sama lo!" ucapku. Aku berlari dan terus berlari menjauh dari Reza.
Reza pun mengejarku.
"Gue
suka sama lo," teriaknya. Seketika lariku terhenti. Aku tak percaya apa
yang diucapkannya. Saat-saat yang aku tunggu-tunggu.
Aku
membalikkan badanku. Kulihat Reza yang membungkuk memegangi perutnya karena
terlalu lelah mengejarku. Pandanganku kabur. Tertutupi oleh air mata bahagia.
Senyumku mengembang. Aku berlari ke arah Reza. Menepuk bahunya berkali-kali
hingga membuatnya melihat aku yang menangis terharu. Reza rentangkan tangannya
lebar-lebar, memeluk tubuhku. Sungguh indah rasanya. Penantianku, menjadi
jomblo sampai sekarang demi menunggunya, terbayar sudah.
***
Hubunganku
dengan Reza sudah berjalan 5 bulan lebih 7 hari. Suka duka kulewati bersama
dengan Reza. Pertengkaran kecil sering terjadi. Namun kebahagiaan jauh lebih
sering dan terjadi setiap harinya. Masih tak pernah ku sangka aku bisa bersama
dengan Reza hingga sekarang.
"Dijemput
Reza, Ra?" tanya Dicky.
Saat ini aku
sedang berdiri di depan kelas, menunggu Reza datang. Suatu kebiasaan yang
dilakukan setiap hari sepulang sekolah.
"Iya
nih Dick." jawabku sembari memasukkan buku yang sedari tadi kubawa.
"Yahh,
semenjak lo jadian sama Reza nggak pernah ada waktu buat gue ya Ra? Gue kan
sahabat lo," ujarnya dengan bibir manyun.
"Sorry
deh Dick. Lain kali kita pulang bareng deh. Kayak dulu-dulu," ujarku
sambil menepuk bahunya.
Dicky hanya
mengangguk dengan bibir manyunnya. Memang sadis banget aku, lupa sahabat
gara-gara pacar.
"Eh itu
Reza, Ra. Sama siapa tuh?"
Aku menoleh
ke arah yang ditunjuk Dicky. Ku lihat seorang cewek nempel banget sama Reza.
Pakai gandeng-gandeng segala. Hampir saja aku dibakar api cemburu.
"Apaan
sih tuh cewek, kok gandeng-gandeng sih? Ceweknya? Kan ceweknya elo, Ra? Apa
jangan-jangan..."
"STOP
DICK!" aku mengelaknya. Benar-benar Dicky menuangkan minyak di atas api
yang menyala. "Nggak mungkin Reza kayak gitu!"
"Hai
Ra," sapa Reza.
"Siapa
nih Za?" tanya Dicky.
"Ohh
ini. Ini kenalin, Jessi. Dia saudara jauhku. Tadi aku jemput dia dulu baru
kesini jadinya agak kelamaan deh. Biasanya yang jemput dia Ilham, tapi Ilham
lagi ada acara. Jadinya aku yang jemput. Sorry ya Ra," jawab Reza dengan
wajah jujur.
"Tuh
kan Dick. Gue bilang juga apa!" kataku berbisik. "Ya udah Za. Ayo
kita pulang," Aku menggandeng tangan Reza menuju mobilnya.
"Gue
mau duduk di depan Za. Gue nggak biasa duduk di belakang. Gue mabok kalo duduk
di belakang. Rasanya pengen muntah," dasar cewek nggak tau diri nih.
Harusnya aku yang duduk di depan!
"Nggak
bisa. Itu tempat duduk udah gue kontrak!" jawabku. Sebal rasanya melihat
wajahnya yang menjijikkan seakan ingin sekali mendekati Reza.
Saat ini
kita bertiga masih berdiri di depan mobil. Aku dan si Jessi itu berebut tempat
duduk.
"Kok
kakak pelit gitu sih? Nggak kasihan ya sama aku?" wajahnya sangat memelas.
Bukannya kasihan, rasanya pengen banget ngegampar tuh wajah yang pasti cuma
akting belaka. "Kak Rezaaaa, ayolah kak. Tolongin aku dong kak,"
"Ehem
Ra, ngalah lah Ra? Daripada dia muntah? Ya beb ya?" bujuk Reza.
Awalnya aku
mau marah gara-gara Reza lebih memilih dekat-dekat dengan Jessi daripada sama
aku yang pacarnya sendiri?! Tapi aku malah mengangguk dan tanpa kata-kata lagi,
langsung duduk di jok belakang.
Dan apa yang
terjadi setelah Jessi naik ke dalam mobil? Dengan kurang ajarnya dia malah
menjulurkan lidahnya ke arahku. Hampir saja tanganku refleks untuk menamparnya.
Tapi untungnya aku masih punya kesabaran. Kalau tidak, tuh anak pulang
nangis-nangis dan ngancem Reza buat jadi cowoknya lagi?!
"Jessi,
gue nganter Rara dulu ya baru nganter lo?" tanya Reza.
"Iya
deh kak! Sip!" wajah si Jessi nampak berbinar-binar kesenangan. Aku tau
siasat liciknya! Pasti biar mereka berdua bisa berduaan di dalam mobil dengan
kaca super gelap mereka bisa bermesraan tanpa ada seorang pun yang tau!
Uhh
membayangkannya saja rasanya kepalaku sudah pusing. Tak bisa di biarkan.
"Nganter
Jessi aja dulu Za, baru nganter aku." ucapku.
"Kok
gitu Ra? Jauhan rumahnya Jessi lho Ra. Ini kan rumah kamu udah deket nih,"
kata Reza.
"Nggak,
nggak pa-pa kok!" ucapku bersungguh-sungguh.
"Tapi
kan Ra, nanti yang kerepotan aku Ra? Harus bolak-balik dong?" kata Reza
terang-terangan menolak.
"Iya
nih! Kakak nih nggak kasihan banget sama kak Reza," Jessi ikut bicara.
Sialan.
Lebih baik turun daripada ngelihat wajah mereka berdua yang pasti
bersengkongkol. Kayaknya betul nih dugaan Dicky. Iyalah, insting sahabat itu
biasanya benar.
"Gue
turun sini aja. Berhenti Za," suruhku.
"Lho
kenapa Ra?" tanya Reza.
"Udah
deh, berhenti aja!" teriakku. Ku lirik ke arah Jessi. Wajahnya nampak puas
dengan tindakanku. Sialan!
Mobil berhenti
di tepi jalan trotoar. Sebelum aku turun dari mobil, aku selipkan sebuah
kata-kata. "Selamat deh ya, selamat berduaan!" Aku banting pintu
keras-keras. Tak peduli mau tuh mobil rusak atau apa deh!
Dan bahkan
Reza tak mengejarku melihat aku berjalan pulang. Padahal rumahku masih terlihat
jauh jika berjalan. Benar-benar deh. TEGA!
***
"Kamu
kenapa sih kemarin? Aku telpon nggak diangkat, di sms nggak di bales, di BBM
apa lagi! Di read aja nggak! Tadi pagi aku jemput katanya udah berangkat duluan,
ehh kamu baru sampai malah? Kamu kenapa sih?" Reza menghujaniku dengan
pertanyaan yang membuatku semakin sebal. Memang dasar laki-laki nggak peka!
"Nggak
usah ngajak gue bicara! Ntar nggak usah jemput gue! Gue mau pulang sama Dicky.
Jemput aja tuh si Jessi! Nggak usah sms, telpon, apalagi BBM gue! BB gue mau
gue jual!" marahku.
"Kok
gitu sih Ra? Kamu nggak mau bilang salahku apa? Apa salahku?"
"Jadi
cowok yang peka dong! Dasar tukang selingkuh!"
"Tukang
selingkuh? Kapan aku..." Reza tiba-tiba tersenyum nyaris tertawa.
"Hahahaha... Ternyata kamu cemburu gara-gara si Jessi? Kan udah aku bilang
kalo dia saudara jauh aku? Nggak mungkin lah aku selingkuh, apalagi sama
Jessi,"
"Emangnya
nggak bisa pacaran sama saudara jauh? Bisa aja lah!" kataku ketus.
"Kok
kamu jadi gini sih? Hei...hei denger aku," Reza membalikkan badanku.
Memegang erat kedua bahuku. "Aku sayang dan cintanya sama kamu Rara. Nggak
ada yang lain. Dari dulu sampai sekarang nggak berubah," katanya tulus.
"Udahlah!
Mendingan lo balik aja tuh ke LA! Bawa juga saudara lo itu si Jessi sama Ilham
juga! Nggak usah balik-balik lagi ke Indonesia!" aku lepas kontrol. Bahkan
aku sendiri bingung dengan apa yang kuucapkan saat itu. Campur aduk.
"Baiklah.
Aku... mau nggak mau, ternyata harus ngelakuin itu ya?" katanya membuatku
bingung.
"Maksudnya?"
tanyaku tak mengerti.
"Ya
udah. Thanks Ra. Selamat...tinggal." Reza pergi meninggalkanku dengan
segudang pertanyaan. Apa maksudnya? Salam perpisahan untuk apa?
Yang kutahu
hanyalah tatapan nanar darinya untuk yang terakhir kali. Airmataku menetes
tanpa bisa dicegah. Lututku goyah. Badanku luruh terduduk di lantai yang
jelas-jelas kotor. Namun aku tak peduli. Sungguh kusesali apa yang terjadi saat
ini. Kecemburuanku yang membara, dan lidahku yang terlalu tajam, yang
kupedulikan hanyalah perasaanku.
***
Aku masih
tak mengerti jelasnya apa yang dikatakan Ilham. Ilham yang saat ini duduk di
ruang tamu rumahku dengan wajah penuh kecemasan. Dia ceritakan segalanya yang
terjadi pada kakaknya.
"Kenapa
lo buat kakak gue kayak gini sih, Ra?" tanyanya tiba-tiba. Membuatku tak
mengerti.
"Ke..napa?"
tanyaku perlahan.
"Kok lo
malah nanya kenapa?! Kakak gue, gue, sama Jessi bakalan ke LA beneran!"
jawabnya.
Jelas aku
tercengang. Tak kusangka apa yang aku katakan benar-benar dia lakukan.
"Lo tau
nggak? Dia udah kayak mayat hidup tau nggak? Kerjaannya tiap malem ke diskotek!
Pulang-pulang dia teler. Lo nggak kasihan apa?! Lo apain kakak gue sampai kayak
gitu?!" Ilham marah. Sungguh marah terhadapku.
"Ma...Maaf
Ham," ucapku bergetar. Mati-matian aku meredam airmata yang menggenang di
pelupuk mataku.
"Maaf?!
Apa lo nggak nyesel apa yang lo perbuat? Sebentar lagi, kakak gue sama Jessi
bakalan tunangan di LA!"
Deg!
Sudah tak bisa
kucegah lagi, airmata menetes satu persatu. Membasahi pipiku. Aku tahu benar,
Ilham menatapku penuh nanar. "A...apa yang harus gue lakuin Ham?
Gu...gue...rela,"
"Besok,
kita pergi naik pesawat jam 17.30. Gue harap, lo cegah kakak gue kalo emang lo
sayang. Gue nggak mau batin kakak gue tersiksa,"
Ilham pergi.
Melangkah menjauh dari rumahku tanpa salam selamat tinggal. Aku sangat tahu
bahwa dia marah besar padaku. Orang yang menyebabkan kakaknya menderita. Tuhan,
apa yang harus aku lakukan?
***
Bencana
apalagi ini?!
Satu sms
masuk dan membuatku kelabakan. SMS itu masuk disaat aku telah bersiap menuju
bandara, dan sekarangpun aku sudah berhasil mendapat taksi. Aneh, sepertinya
Tuhan memang tak mengijinkanku untuk bertemu dengan Reza.
Nak, tlong
jenguk nak Dicky. Nak Dicky-nya sedang sakit dan tak sadarkan diri di rumah
sakit. Dia terus-terusan memanggil nama nak Rara. Tolong ya Nak. Saya mohon.
-Ibu Dicky-
"Pak,
ke rumah sakit sekarang pak," ujarku pada sopir taksi.
Jam telah
menunjukkan angka 17.35. Pesawat telah lepas landas dari bandara. Sedangkan aku
sekarang berada di rumah sakit menjenguk Dicky. Di ruang rawat ICU bersama
dengan Ibunya yang terus menangis.
"Sakit
apa tante?" tanyaku.
"Dia
sakit leukimia stadium dua nak. Maaf membuat nak Rara membatalkan janji dengan
rekannya. Saya kasihan dan tak tega melihat Dicky seperti ini. Saya...saya
takut jika hari ini hari terakhir," ucapnya. Terbersit rasa iba dalam
hatiku.
"Tapi
bisa disembuhkan kan?" tanyaku.
"Mungkin.
Hanya Tuhan nak yang tahu," jawabnya.
***
2 tahun
sudah kejadian itu berlalu. Kini aku telah bersanding dengan Dicky di reunian
SD. Hubunganku dengan Dicky sudah berjalan satu setengah tahun. Meskipun
sepenuhnya aku tak bisa melupakan Reza, namun aku bahagia dengan segala
perhatian Dicky padaku. Dicky yang memohon dengan sangat untuk menjadi
pelampiasan cintaku. Namun perlahan aku jatuh cinta sungguhan pada Dicky.
Bodohnya aku
yang masih berharap adanya Reza di reunian SD ini. Aku terus mencari sosok
tegap yang menjahiliku terus di SD. Ku lihat sosok itu. Namun telah bersanding
dengan seorang wanita yang kulihat itu bukan Jessi. Rupanya hampir mirip
denganku.
Aku melihat
Reza. Dan, Reza melihatku. Aku canggung, namun aku tersenyum bahagia melihat
dia yang nampak sangat cocok dengan wanita yang dipilihnya. Dia pun tersenyum
padaku. Tersenyum yang berarti sama dengan senyumku.
Kini aku
tahu. Cinta itu bukanlah sebuah keegoisan. Cinta itu tak harus memiliki :)
THE END--