Selasa, 20 November 2012

firts love

First Love, First Trouble (CERPEN)
oleh Smashblast Cenatcenut Semangka pada 6 Juni 2012 pukul 16:14 ·
Title: First Love, First Trouble

Genre: Comedy, Romantic, Sad

Author: 
  • K-Rara-Always
  • K-Karin-Fana
  • K-Niia-Nous
  • K-Dini-Fana
  • K-Novita-Nizer
  • K-Fadhilah-Nous
  • K-I.Yanti-Niac
  • K-Ina-Nizer
  • K-Intan-Nizer
  • K-Fhitta-Niac
  • K-Intansr-Niac
  • (ANAK-ANAK SEKOLAH SMASHBLAST SEMANGKA) :D  *dengan perubahan sedemikian rupa*

Main Cast: 
  • Rara
  • Reza
  • Dicky
  • Jessi
  • Ilham
Date: Wednesday, 6 June 2012


Selamat Membaca :)




Awan berarak-arakan di langit. Seperti mengikuti langkah kakiku yang berjalan mengitari halaman sekolah. Berjalan sendiri tanpa teman. Tapi, hati tentram. Tidak seperti dulu SD. Selalu saja diganggu oleh orang rese yang bego'nya aku suka sama tuh cowok.

Baru ingat, ternyata lama juga sudah tidak pernah bertemu. Semenjak dia pindah ke LA bersama kedua orang tuanya. Kira-kira sudah berapa tahun ya? Ahh sudah 5 tahun lebih 7 bulan setengah! Aku selalu menghitungnya setiap bulan. Dalam hati aku masih selalu berharap bisa bertemu dia, walaupun cuma lima menit itupun sudah sangat kusyukuri. Aku ingin melihat wajah dewasanya. Meskipun Ilham sudah berkali-kali mengirimi aku fotonya.

Tapi sering juga ku kesal jika mengingat keisengannya. Seperti mengirimi aku kotak hadiah yang ternyata isinya seekor cicak hidup beserta telur-telurnya. Pernah juga dia menuduhku mencuri celana dalamnya, menyebarkan berita bohong itu di seluruh anak-anak. Rasanya malu sekali! Tapi jika dikenang kembali, itu menjadi saat-saat yang paling indah.

M. Reza Anugrah

Aku duduk di bangku taman yang berada di halaman sekolah. Menundukkan kepalaku. Menutupi mataku dengan kedua tanganku. Menutupi rasa sedihku. Aku sangat rindu padanya. Sangat amat RINDU!

Aku membuka kedua tanganku. Melihat sebuah bayangan yang menutupiku dari sinar matahari. Ku lihat orang yang berdiri di depanku. Sungguh tak dapat dipercaya! Reza berdiri di depanku dengan senyum manisnya. Oh tidak! Senyum manis ini bisa berubah menjadi senyuman licik secara cepat dalam hitungan 0,1 detik! Tapi karena ku tahu jika itu hanya halusinasiku saja, aku mengkucek mataku supaya halusinasi itu tidak terlampau jauh. Namun itu bukan halusinasiku! Itu kenyataan!

Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Tak jadi menetes ketika kulihat senyuman Reza sungguh berubah menjadi senyuman licik! Uuhh bahkan tak dapat kupungkiri lagi, aku kangen dengan senyuman liciknya!

"Hai, apa kabar Rara?" 

Suara ini. Aku sangat rindu dengan suaranya ini. Apalagi dengan logat bicaranya yang khas. Semua yang ada padanya aku sangat rindukan bahkan aku sampai lupa bernafas selama beberapa detik.

"Kenapa lo balik?" tanyaku ketus. Meskipun dalam hati benakku melambung melihatnya berdiri di depanku dengan kokohnya dan uuhh gantengnya, aku harus berakting membenci dia. Meski dalam lubuk hati terdalam aku tak pernah tega melakukan itu.

"Tugas gue di LA udah habis, Ra. Gue mau disini aja bareng sama Ilham. Kasihan kalau ditinggal lama-lama sendirian sama nenek." jawabnya. 

Aku hanya diam. Aku puaskan mataku untuk melihatnya dari kaki sampai ujung kepalanya. Ingin rasanya ku peluk erat-erat dan tak akan kubiarkan dia pergi dari Indonesia.

"Kok diem aja? Lo nggak seneng gue kesini? Lo kagak suka gue balik kesini lagi?" sindirnya dengan senyum liciknya lagi.

"Nggak nyangka aja. Gue kira lo nggak akan balik kesini lagi, tapi ternyata lo balik kesini lagi." Jawabku jujur. Tidak dengan suara ketus yang dibuat-buat. Tapi dengan wajah polos yang memohon perdamaian.

"Ohh... gitu. Eh sebenarnya ada alasan lain sih gue balik kesini,"

"Emang apa?" tanyaku sungguh ingin tahu.

"Gue balik karena gue mau nyelesaiin urusan gue sama lo. Gue kepikiran sama lo terus," gombalnya.

Uuhh sebenarnya aku sudah melayang jauh ke langit ke delapan deh. Meskipun langit tuh ada tujuh lapisan, aku milih yang ke delapan biar lebih jauh dan nggak turun-turun lagi.

"Lo nggak kangen ya sama gue? Padahal setiap hari, jam, menit, detik, gue pengen melarikan diri dari LA ke Indonesia cuma buat ketemu lo!" aku-nya.

Wajahku memerah. Mirip udang rebus sangking senengnya. Nggak tahu itu bener atau cuma gurauannya.

"Nggak, ngapain juga gue kangen sama lo?! Masa' gue kangen sama orang yang hobinya ngerjain gue? Nggak lucu banget tau! Sama aja kayak domba incaran serigala nyerah dan minta dimakan serigala!" kataku kembali ketus.

"Yang bener nih? Jangan bohong deh. Masa' lo lupa sih waktu itu di teduhan pohon, bilang suka sama gue. Bilang kalo gue cowok idaman,"

"I...itukan dulu," Elakku.

"Sekarang masih kan?" sindirnya. Pas banget!

"Kok lo abis pulang dari LA tambah gede ya GR-nya?!"

"GR? Gue nggak GR kok. Kenyataannya gitu kan? Lo aja selalu nanya kabar gue ke Ilham. Bahkan lo minta foto gue ke Ilham kan? Ngaku deh lo,"

Wah aku terpojok! Tak bisa bertindak lagi. Aku bangkit berdiri. "Iya, gue kangen berat sama lo!" ucapku. Aku berlari dan terus berlari menjauh dari Reza. Reza pun mengejarku.

"Gue suka sama lo," teriaknya. Seketika lariku terhenti. Aku tak percaya apa yang diucapkannya. Saat-saat yang aku tunggu-tunggu.

Aku membalikkan badanku. Kulihat Reza yang membungkuk memegangi perutnya karena terlalu lelah mengejarku. Pandanganku kabur. Tertutupi oleh air mata bahagia. Senyumku mengembang. Aku berlari ke arah Reza. Menepuk bahunya berkali-kali hingga membuatnya melihat aku yang menangis terharu. Reza rentangkan tangannya lebar-lebar, memeluk tubuhku. Sungguh indah rasanya. Penantianku, menjadi jomblo sampai sekarang demi menunggunya, terbayar sudah.


***


Hubunganku dengan Reza sudah berjalan 5 bulan lebih 7 hari. Suka duka kulewati bersama dengan Reza. Pertengkaran kecil sering terjadi. Namun kebahagiaan jauh lebih sering dan terjadi setiap harinya. Masih tak pernah ku sangka aku bisa bersama dengan Reza hingga sekarang.

"Dijemput Reza, Ra?" tanya Dicky.

Saat ini aku sedang berdiri di depan kelas, menunggu Reza datang. Suatu kebiasaan yang dilakukan setiap hari sepulang sekolah.

"Iya nih Dick." jawabku sembari memasukkan buku yang sedari tadi kubawa.

"Yahh, semenjak lo jadian sama Reza nggak pernah ada waktu buat gue ya Ra? Gue kan sahabat lo," ujarnya dengan bibir manyun.

"Sorry deh Dick. Lain kali kita pulang bareng deh. Kayak dulu-dulu," ujarku sambil menepuk bahunya.

Dicky hanya mengangguk dengan bibir manyunnya. Memang sadis banget aku, lupa sahabat gara-gara pacar.

"Eh itu Reza, Ra. Sama siapa tuh?"

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Dicky. Ku lihat seorang cewek nempel banget sama Reza. Pakai gandeng-gandeng segala. Hampir saja aku dibakar api cemburu.

"Apaan sih tuh cewek, kok gandeng-gandeng sih? Ceweknya? Kan ceweknya elo, Ra? Apa jangan-jangan..."

"STOP DICK!" aku mengelaknya. Benar-benar Dicky menuangkan minyak di atas api yang menyala. "Nggak mungkin Reza kayak gitu!" 

"Hai Ra," sapa Reza.

"Siapa nih Za?" tanya Dicky.

"Ohh ini. Ini kenalin, Jessi. Dia saudara jauhku. Tadi aku jemput dia dulu baru kesini jadinya agak kelamaan deh. Biasanya yang jemput dia Ilham, tapi Ilham lagi ada acara. Jadinya aku yang jemput. Sorry ya Ra," jawab Reza dengan wajah jujur.

"Tuh kan Dick. Gue bilang juga apa!" kataku berbisik. "Ya udah Za. Ayo kita pulang," Aku menggandeng tangan Reza menuju mobilnya.





"Gue mau duduk di depan Za. Gue nggak biasa duduk di belakang. Gue mabok kalo duduk di belakang. Rasanya pengen muntah," dasar cewek nggak tau diri nih. Harusnya aku yang duduk di depan!

"Nggak bisa. Itu tempat duduk udah gue kontrak!" jawabku. Sebal rasanya melihat wajahnya yang menjijikkan seakan ingin sekali mendekati Reza.

Saat ini kita bertiga masih berdiri di depan mobil. Aku dan si Jessi itu berebut tempat duduk.

"Kok kakak pelit gitu sih? Nggak kasihan ya sama aku?" wajahnya sangat memelas. Bukannya kasihan, rasanya pengen banget ngegampar tuh wajah yang pasti cuma akting belaka. "Kak Rezaaaa, ayolah kak. Tolongin aku dong kak,"

"Ehem Ra, ngalah lah Ra? Daripada dia muntah? Ya beb ya?" bujuk Reza.

Awalnya aku mau marah gara-gara Reza lebih memilih dekat-dekat dengan Jessi daripada sama aku yang pacarnya sendiri?! Tapi aku malah mengangguk dan tanpa kata-kata lagi, langsung duduk di jok belakang.

Dan apa yang terjadi setelah Jessi naik ke dalam mobil? Dengan kurang ajarnya dia malah menjulurkan lidahnya ke arahku. Hampir saja tanganku refleks untuk menamparnya. Tapi untungnya aku masih punya kesabaran. Kalau tidak, tuh anak pulang nangis-nangis dan ngancem Reza buat jadi cowoknya lagi?!

"Jessi, gue nganter Rara dulu ya baru nganter lo?" tanya Reza.

"Iya deh kak! Sip!" wajah si Jessi nampak berbinar-binar kesenangan. Aku tau siasat liciknya! Pasti biar mereka berdua bisa berduaan di dalam mobil dengan kaca super gelap mereka bisa bermesraan tanpa ada seorang pun yang tau!

Uhh membayangkannya saja rasanya kepalaku sudah pusing. Tak bisa di biarkan.

"Nganter Jessi aja dulu Za, baru nganter aku." ucapku.

"Kok gitu Ra? Jauhan rumahnya Jessi lho Ra. Ini kan rumah kamu udah deket nih," kata Reza.

"Nggak, nggak pa-pa kok!" ucapku bersungguh-sungguh.

"Tapi kan Ra, nanti yang kerepotan aku Ra? Harus bolak-balik dong?" kata Reza terang-terangan menolak.

"Iya nih! Kakak nih nggak kasihan banget sama kak Reza," Jessi ikut bicara.

Sialan. Lebih baik turun daripada ngelihat wajah mereka berdua yang pasti bersengkongkol. Kayaknya betul nih dugaan Dicky. Iyalah, insting sahabat itu biasanya benar.

"Gue turun sini aja. Berhenti Za," suruhku.

"Lho kenapa Ra?" tanya Reza.

"Udah deh, berhenti aja!" teriakku. Ku lirik ke arah Jessi. Wajahnya nampak puas dengan tindakanku. Sialan!

Mobil berhenti di tepi jalan trotoar. Sebelum aku turun dari mobil, aku selipkan sebuah kata-kata. "Selamat deh ya, selamat berduaan!" Aku banting pintu keras-keras. Tak peduli mau tuh mobil rusak atau apa deh!

Dan bahkan Reza tak mengejarku melihat aku berjalan pulang. Padahal rumahku masih terlihat jauh jika berjalan. Benar-benar deh. TEGA!



***



"Kamu kenapa sih kemarin? Aku telpon nggak diangkat, di sms nggak di bales, di BBM apa lagi! Di read aja nggak! Tadi pagi aku jemput katanya udah berangkat duluan, ehh kamu baru sampai malah? Kamu kenapa sih?" Reza menghujaniku dengan pertanyaan yang membuatku semakin sebal. Memang dasar laki-laki nggak peka!

"Nggak usah ngajak gue bicara! Ntar nggak usah jemput gue! Gue mau pulang sama Dicky. Jemput aja tuh si Jessi! Nggak usah sms, telpon, apalagi BBM gue! BB gue mau gue jual!" marahku.

"Kok gitu sih Ra? Kamu nggak mau bilang salahku apa? Apa salahku?"

"Jadi cowok yang peka dong! Dasar tukang selingkuh!" 

"Tukang selingkuh? Kapan aku..." Reza tiba-tiba tersenyum nyaris tertawa. "Hahahaha... Ternyata kamu cemburu gara-gara si Jessi? Kan udah aku bilang kalo dia saudara jauh aku? Nggak mungkin lah aku selingkuh, apalagi sama Jessi," 

"Emangnya nggak bisa pacaran sama saudara jauh? Bisa aja lah!" kataku ketus.

"Kok kamu jadi gini sih? Hei...hei denger aku," Reza membalikkan badanku. Memegang erat kedua bahuku. "Aku sayang dan cintanya sama kamu Rara. Nggak ada yang lain. Dari dulu sampai sekarang nggak berubah," katanya tulus.

"Udahlah! Mendingan lo balik aja tuh ke LA! Bawa juga saudara lo itu si Jessi sama Ilham juga! Nggak usah balik-balik lagi ke Indonesia!" aku lepas kontrol. Bahkan aku sendiri bingung dengan apa yang kuucapkan saat itu. Campur aduk.

"Baiklah. Aku... mau nggak mau, ternyata harus ngelakuin itu ya?" katanya membuatku bingung.

"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.

"Ya udah. Thanks Ra. Selamat...tinggal." Reza pergi meninggalkanku dengan segudang pertanyaan. Apa maksudnya? Salam perpisahan untuk apa? 

Yang kutahu hanyalah tatapan nanar darinya untuk yang terakhir kali. Airmataku menetes tanpa bisa dicegah. Lututku goyah. Badanku luruh terduduk di lantai yang jelas-jelas kotor. Namun aku tak peduli. Sungguh kusesali apa yang terjadi saat ini. Kecemburuanku yang membara, dan lidahku yang terlalu tajam, yang kupedulikan hanyalah perasaanku.



***



Aku masih tak mengerti jelasnya apa yang dikatakan Ilham. Ilham yang saat ini duduk di ruang tamu rumahku dengan wajah penuh kecemasan. Dia ceritakan segalanya yang terjadi pada kakaknya.

"Kenapa lo buat kakak gue kayak gini sih, Ra?" tanyanya tiba-tiba. Membuatku tak mengerti.

"Ke..napa?" tanyaku perlahan.

"Kok lo malah nanya kenapa?! Kakak gue, gue, sama Jessi bakalan ke LA beneran!" jawabnya.

Jelas aku tercengang. Tak kusangka apa yang aku katakan benar-benar dia lakukan.

"Lo tau nggak? Dia udah kayak mayat hidup tau nggak? Kerjaannya tiap malem ke diskotek! Pulang-pulang dia teler. Lo nggak kasihan apa?! Lo apain kakak gue sampai kayak gitu?!" Ilham marah. Sungguh marah terhadapku.

"Ma...Maaf Ham," ucapku bergetar. Mati-matian aku meredam airmata yang menggenang di pelupuk mataku.

"Maaf?! Apa lo nggak nyesel apa yang lo perbuat? Sebentar lagi, kakak gue sama Jessi bakalan tunangan di LA!" 

Deg!

Sudah tak bisa kucegah lagi, airmata menetes satu persatu. Membasahi pipiku. Aku tahu benar, Ilham menatapku penuh nanar. "A...apa yang harus gue lakuin Ham? Gu...gue...rela,"

"Besok, kita pergi naik pesawat jam 17.30. Gue harap, lo cegah kakak gue kalo emang lo sayang. Gue nggak mau batin kakak gue tersiksa," 

Ilham pergi. Melangkah menjauh dari rumahku tanpa salam selamat tinggal. Aku sangat tahu bahwa dia marah besar padaku. Orang yang menyebabkan kakaknya menderita. Tuhan, apa yang harus aku lakukan?


***


Bencana apalagi ini?!

Satu sms masuk dan membuatku kelabakan. SMS itu masuk disaat aku telah bersiap menuju bandara, dan sekarangpun aku sudah berhasil mendapat taksi. Aneh, sepertinya Tuhan memang tak mengijinkanku untuk bertemu dengan Reza.


Nak, tlong jenguk nak Dicky. Nak Dicky-nya sedang sakit dan tak sadarkan diri di rumah sakit. Dia terus-terusan memanggil nama nak Rara. Tolong ya Nak. Saya mohon.

-Ibu Dicky-


"Pak, ke rumah sakit sekarang pak," ujarku pada sopir taksi.




Jam telah menunjukkan angka 17.35. Pesawat telah lepas landas dari bandara. Sedangkan aku sekarang berada di rumah sakit menjenguk Dicky. Di ruang rawat ICU bersama dengan Ibunya yang terus menangis.

"Sakit apa tante?" tanyaku.

"Dia sakit leukimia stadium dua nak. Maaf membuat nak Rara membatalkan janji dengan rekannya. Saya kasihan dan tak tega melihat Dicky seperti ini. Saya...saya takut jika hari ini hari terakhir," ucapnya. Terbersit rasa iba dalam hatiku.

"Tapi bisa disembuhkan kan?" tanyaku.

"Mungkin. Hanya Tuhan nak yang tahu," jawabnya.



***



2 tahun sudah kejadian itu berlalu. Kini aku telah bersanding dengan Dicky di reunian SD. Hubunganku dengan Dicky sudah berjalan satu setengah tahun. Meskipun sepenuhnya aku tak bisa melupakan Reza, namun aku bahagia dengan segala perhatian Dicky padaku. Dicky yang memohon dengan sangat untuk menjadi pelampiasan cintaku. Namun perlahan aku jatuh cinta sungguhan pada Dicky.

Bodohnya aku yang masih berharap adanya Reza di reunian SD ini. Aku terus mencari sosok tegap yang menjahiliku terus di SD. Ku lihat sosok itu. Namun telah bersanding dengan seorang wanita yang kulihat itu bukan Jessi. Rupanya hampir mirip denganku.

Aku melihat Reza. Dan, Reza melihatku. Aku canggung, namun aku tersenyum bahagia melihat dia yang nampak sangat cocok dengan wanita yang dipilihnya. Dia pun tersenyum padaku. Tersenyum yang berarti sama dengan senyumku.

Kini aku tahu. Cinta itu bukanlah sebuah keegoisan. Cinta itu tak harus memiliki :)





THE END--